Rawa
Pening
Rawa
Pening ("pening" berasal dari "bening") adalah danau
sekaligus tempat wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan luas
2.670 hektare ia menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan
Banyubiru. Rawa Pening terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu,
Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.
Danau ini mengalami
pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi tempat mencari ikan, kini hampir
seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng gondok. Gulma ini juga sudah menutupi
Sungai Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasif ini
dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok
dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi.
Daya tarik yang ada di Rawa Pening
antara lain : Wisata Tirta, dengan perahu tradisional, Penghasil enceng
gondok sebagai bahan kerajinan, area pemancingan alam, Sumber mata pencaharian
nelayan dan petani ikan, Obyek fotografi yang sangat mempesona.
Sejarah
Rawa Pening ada sekitar
1000-2000 tahun yang lalu. Berada 45 km dari kota Semarang. Mata pencaharian
penduduk di sana mayoritas adalah Nelayan eceng gondok. Kedekatan masyarakat
Rawa Pening dengan rawa memunculkan mitos, bahwa terdapat ular besar yang menempati
rawa bernama Biru Klinting.
Salah satu nelayan
disana katanya pernah melihat Biru Klinting, warnanya kekuning-kuningan, dan
mempunyai panjang kurang lebih 50 m. Dikepalanya ada tengger yang sama dengan
tengger ayam jago. Siapa sih Biru Klinting sebenarnya?
Konon, hiduplah seorang
bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya,
bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam dan amis.
Luka itu tak pernah kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka
baru, disebabkan memar. Biru Klinting berubah menjadi seorang anak kecil yang
mempunyai luka disekujur tubuhnya, dan lukanya menimbulkan bau amis. Biru
Klinting berjalan-jalan di desa tersebut, dan melihat anak-anak didesa itu
sedang bermain. Muncullah keinginan dihatinya untuk bergabung, namun anak-anak
tersebut menolak kehadiran Biru Klinting dan memaki-makinya dengan ejekan. Biru
Klinting pun pergi. Ditengah jalan, perutnya mulai lapar, dan Biru Klinting
mendatangi salah satu rumah dan meminta makan. Saat itu Biru Klinting pun
kembali di tolak bahkan di maki-maki.
Desa tersebut adalah
desa yang makmur, namun penduduk di Desa itu sangatlah angkuh. Sampai suatu
hari ada seorang Janda tua (Nyai) yang baik dan mau menampung dan memberi makan
Biru Klinting. Setelah selesai makan, Biru Klinting berterimakasih kepada Nyai,
sambil berkata, "Nyai, kalau Nyai mendengar suara kentongan, Nyai harus
langsung naik ke perahu atau lisung ya?", kemudian Nyai tersebut menjawab
"Iya".
Ketika Biru Klinting
sedang di perjalanan meninggalkan komunitas tersebut, Biru Klinting bertemu
dengan anak-anak yang sering menghinanya dan langsung mengusir Biru Klinting
dengan kata-kata kasar. Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung
menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang
ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini,
kecuali dirinya.
Satu persatu mulai
berusaha mencabut lidi yang di tancapkan Biru Klinting, namun anak-anak tidak
ada yang bisa mencabutnya. Sampai akhirnya orang-orang dewasa yang berusaha
mencabut lidi tersebut. Namun hasilnya TETAP TIDAK BISA! Akhirnya Biru Klinting
sendiri yang menarik lidi tersebut, karena hanya dia yang bisa mencabutnya
(mengingat bahwa dia sakti). Saat itupun keluarlah air dari tanah bekas lidi
itu menancap, airnya sangat deras keluar dari tanah, dan terjadilah banjir
bandang di Desa Rawa Pening dan menewaskan seluruh masyarakat di desa itu,
kecuali Nyai.
Setelah lidi tersebut
lepas, Biru Klinting langsung membunyikan kentongan untuk memperingati Nyai.
Akhirnya Nyai yang sedang menumbuk padi segera masuk ke lisung, dan selamatlah
dia. Nyai menceritakan kejadian ini kepada penduduk2 desa tetangganya dan Biru
Klinting kembali menjadi ular dan menjaga desa yang telah menjadi rawa
tersebut.
Begitulah ceritanya.
Saat ini Rawa Pening bukanlah malapetaka, namun menjadi kemakmuran bagi
masyarakat sekitar, karena rawa tersebut bermanfaat bagi pertanian, budidaya
ikan, dan eceng gondok.
Permasalahan
Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi
tempat mencari ikan, kini hampir seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng
gondok. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di bagian
hulu. Usaha mengatasi spesies invasif ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta
pelatihan pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi
tumbuhan ini sangat tinggi.
Bahkan menurut pemerintah baru-baru ini, Rawa Pening kini masuk 15 danau di Indonesia yang menjadi prioritas untuk ditangani karena sebagian besar dalam kondisi memprihatinkan.Danau lain yang masuk prioritas penanganan antara lain adalah Danau Toba, Maninjau, dan Limboto.
Bahkan menurut pemerintah baru-baru ini, Rawa Pening kini masuk 15 danau di Indonesia yang menjadi prioritas untuk ditangani karena sebagian besar dalam kondisi memprihatinkan.Danau lain yang masuk prioritas penanganan antara lain adalah Danau Toba, Maninjau, dan Limboto.
Sungai Citanduy
Sungai adalah perairan mengalir secara terus-menerus pada
arah tertentu, berasal dari tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya
bermuara ke laut, sungai atau perairan terbuka yang luas. Sungai dicirikan oleh
arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar antara 0,1
sampai 1,0 m/detik, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim dan pola
drainase (Soemarwoto, 1980).
Sungai Citanduy berada di Propinsi Jawa
Barat. Secara geografi terletak pada posisi 1080 04’ sampai dengan
1090 30’ BT dan 70 03’ sampai dengan 70 52’
LS. Sungai Citanduy memiliki panjang 170 km, lebar 20 m dan
kedalaman 15 m. Hulu Sungai Citanduy terletak di Gunung Cakrabuana yang
memiliki ketinggian 1721 m dan mengalir ke daerah hilir melalui
kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, dan Banjar (Jawa Barat) serta bermuara di
Segara Anakan Cilacap (Jawa Tengah). Aliran sungai Citanduy
mempunyai luas 350.000 Ha, 57% dari luas tersebut merupakan lahan pertanian,
sedangkan 33% berupa hutan dan perkebunan. Topografi dari wilayah sungai
Citanduy yang merupakan daerah yang rata sekitar 30%, daerah bukit dan
bergelombang sekitar 50% dan sisanya sekitar 20% mempunyai karakteristik berupa
tebing atau lereng dengan tekstur tanah yang mudah tererosi (DPU, 2006).
Berdasarkan hasil survei yang telah
dilakukan, ikan benter banyak ditemukan di Sungai Citanduy, namun dari tahun ke
tahun pada akhirnya populasi ikan benter berkurang baik akibat over fishing
atau karena penangkapan liar. Selain itu, penurunan kualitas perairan sebagai
akibat dari faktor lingkungan seperti erosi tanah, pemukiman dan industri
menyebabkan tekanan psikologis bagi ikan benter yang ada di perairan
tersebut. Ikan benter (Puntius binotatus) merupakan ikan dari
jenis familia Cyprinidae, ikan ini banyak ditemukan pada perairan yang mengalir
yang tidak terlalu dalam dan hidupnya memerlukan kondisi kualitas air yang
mendukung. Ikan benter bersifat benthopelagic yang hidup antara bagian tengah
hingga dasar perairan dan memakan antara zooplankton, larva, serangga dan
tumbuhan air, sehingga ikan ini tergolong omnivora (Sugita, 2005).
Usaha penangkapan ikan benter
yang dilakukan masyarakat tanpa memperhatikan kelestariannya, bila dibiarkan
maka kemungkinan besar populasi ikan tersebut akan menurun, dan bisa
menyebabkan kepunahan. Oleh sebab itu diperlukan upaya perlindungan. Salah satu
upaya perlindungan untuk mempertahankan keberadaan ikan benter di alam adalah
dengan melakukan usaha konservasi. Usaha konservasi tersebut diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai aspek biologi ikan, khususnya mengenai
reproduksi ikan.
Informasi mengenai reproduksi ikan
benter secara lengkap khususnya di Sungai Citanduy sampai saat ini belum ada.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka perlu penelitian tentang aspek
biologi reproduksi ikan benter yang tertangkap di Sungai Citanduy yang meliputi
faktor kondisi, rasio kelamin, tingkat perkembangan gonad, indeks gonado
somatik, fekunditas, dan diameter telur guna mendukung usaha pelestarian yang
berkesinambungan.
Kehidupan ikan di perairan tidak
terlepas dari kualitas fisika dan kimia air pada habitat ikan tersebut (Odum,
1971). Oleh karena itu sebagai parameter pendukung dalam penelitian reproduksi
ikan benter ini perlu dilakukan pengukuran faktor fisika dan kimia air di
lokasi penelitian yang berhubungan dengan aktivitas reproduksi ikan.
Sejarah dan
Lintas Waktu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar