Kamis, 10 Mei 2012

Rawa Pening dan Sungai Citanduy


Rawa Pening


Rawa Pening ("pening" berasal dari "bening") adalah danau sekaligus tempat wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dengan luas 2.670 hektare ia menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Rawa Pening terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.
Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi tempat mencari ikan, kini hampir seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng gondok. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasif ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi.
Daya tarik yang ada di Rawa Pening antara lain : Wisata Tirta, dengan perahu tradisional, Penghasil enceng gondok sebagai bahan kerajinan, area pemancingan alam, Sumber mata pencaharian nelayan dan petani ikan, Obyek fotografi yang sangat mempesona.


Sejarah
Rawa Pening ada sekitar 1000-2000 tahun yang lalu. Berada 45 km dari kota Semarang. Mata pencaharian penduduk di sana mayoritas adalah Nelayan eceng gondok. Kedekatan masyarakat Rawa Pening dengan rawa memunculkan mitos, bahwa terdapat ular besar yang menempati rawa bernama Biru Klinting.
Salah satu nelayan disana katanya pernah melihat Biru Klinting, warnanya kekuning-kuningan, dan mempunyai panjang kurang lebih 50 m. Dikepalanya ada tengger yang sama dengan tengger ayam jago. Siapa sih Biru Klinting sebenarnya?
Konon, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam dan amis. Luka itu tak pernah kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar. Biru Klinting berubah menjadi seorang anak kecil yang mempunyai luka disekujur tubuhnya, dan lukanya menimbulkan bau amis. Biru Klinting berjalan-jalan di desa tersebut, dan melihat anak-anak didesa itu sedang bermain. Muncullah keinginan dihatinya untuk bergabung, namun anak-anak tersebut menolak kehadiran Biru Klinting dan memaki-makinya dengan ejekan. Biru Klinting pun pergi. Ditengah jalan, perutnya mulai lapar, dan Biru Klinting mendatangi salah satu rumah dan meminta makan. Saat itu Biru Klinting pun kembali di tolak bahkan di maki-maki.
Desa tersebut adalah desa yang makmur, namun penduduk di Desa itu sangatlah angkuh. Sampai suatu hari ada seorang Janda tua (Nyai) yang baik dan mau menampung dan memberi makan Biru Klinting. Setelah selesai makan, Biru Klinting berterimakasih kepada Nyai, sambil berkata, "Nyai, kalau Nyai mendengar suara kentongan, Nyai harus langsung naik ke perahu atau lisung ya?", kemudian Nyai tersebut menjawab "Iya".
Ketika Biru Klinting sedang di perjalanan meninggalkan komunitas tersebut, Biru Klinting bertemu dengan anak-anak yang sering menghinanya dan langsung mengusir Biru Klinting dengan kata-kata kasar. Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya.
Satu persatu mulai berusaha mencabut lidi yang di tancapkan Biru Klinting, namun anak-anak tidak ada yang bisa mencabutnya. Sampai akhirnya orang-orang dewasa yang berusaha mencabut lidi tersebut. Namun hasilnya TETAP TIDAK BISA! Akhirnya Biru Klinting sendiri yang menarik lidi tersebut, karena hanya dia yang bisa mencabutnya (mengingat bahwa dia sakti). Saat itupun keluarlah air dari tanah bekas lidi itu menancap, airnya sangat deras keluar dari tanah, dan terjadilah banjir bandang di Desa Rawa Pening dan menewaskan seluruh masyarakat di desa itu, kecuali Nyai.
Setelah lidi tersebut lepas, Biru Klinting langsung membunyikan kentongan untuk memperingati Nyai. Akhirnya Nyai yang sedang menumbuk padi segera masuk ke lisung, dan selamatlah dia. Nyai menceritakan kejadian ini kepada penduduk2 desa tetangganya dan Biru Klinting kembali menjadi ular dan menjaga desa yang telah menjadi rawa tersebut.
Begitulah ceritanya. Saat ini Rawa Pening bukanlah malapetaka, namun menjadi kemakmuran bagi masyarakat sekitar, karena rawa tersebut bermanfaat bagi pertanian, budidaya ikan, dan eceng gondok.
Permasalahan
            Danau ini mengalami pendangkalan yang pesat. Pernah menjadi tempat mencari ikan, kini hampir seluruh permukaan rawa ini tertutup eceng gondok. Gulma ini juga sudah menutupi Sungai Tuntang, terutama di bagian hulu. Usaha mengatasi spesies invasif ini dilakukan dengan melakukan pembersihan serta pelatihan pemanfaatan eceng gondok dalam kerajinan, namun tekanan populasi tumbuhan ini sangat tinggi.
            Bahkan menurut pemerintah baru-baru ini, Rawa Pening kini masuk 15 danau di Indonesia yang menjadi prioritas untuk ditangani karena sebagian besar dalam kondisi memprihatinkan.Danau lain yang masuk prioritas penanganan antara lain adalah Danau Toba, Maninjau, dan Limboto.

Sungai Citanduy



Sungai adalah perairan mengalir secara terus-menerus pada arah tertentu, berasal dari tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara ke laut, sungai atau perairan terbuka yang luas. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar antara 0,1 sampai 1,0 m/detik, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim dan pola drainase (Soemarwoto, 1980).

Sungai Citanduy berada di Propinsi Jawa Barat. Secara geografi terletak pada posisi 1080 04’ sampai dengan 1090 30’ BT dan 70 03’ sampai dengan 70 52’ LS.  Sungai Citanduy memiliki panjang  170 km, lebar 20 m dan kedalaman 15 m.  Hulu Sungai Citanduy terletak di Gunung Cakrabuana yang memiliki ketinggian 1721 m dan mengalir ke daerah hilir  melalui kabupaten  Tasikmalaya, Ciamis, dan Banjar (Jawa Barat) serta bermuara di Segara Anakan   Cilacap (Jawa Tengah). Aliran sungai Citanduy mempunyai luas 350.000 Ha, 57% dari luas tersebut merupakan lahan pertanian, sedangkan 33% berupa hutan dan perkebunan. Topografi dari wilayah sungai Citanduy yang merupakan daerah yang rata sekitar 30%, daerah bukit dan bergelombang sekitar 50% dan sisanya sekitar 20% mempunyai karakteristik berupa tebing atau lereng dengan tekstur tanah yang mudah tererosi (DPU, 2006).
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, ikan benter banyak ditemukan di Sungai Citanduy, namun dari tahun ke tahun pada akhirnya populasi ikan benter berkurang baik akibat over fishing atau karena penangkapan liar. Selain itu, penurunan kualitas perairan sebagai akibat dari faktor lingkungan seperti erosi tanah, pemukiman dan industri menyebabkan tekanan psikologis bagi ikan benter yang ada di perairan tersebut.  Ikan benter (Puntius binotatus) merupakan ikan dari jenis familia Cyprinidae, ikan ini banyak ditemukan pada perairan yang mengalir yang tidak terlalu dalam dan hidupnya memerlukan kondisi kualitas air yang mendukung. Ikan benter bersifat benthopelagic yang hidup antara bagian tengah hingga dasar perairan dan memakan antara zooplankton, larva, serangga dan tumbuhan air, sehingga ikan ini tergolong omnivora (Sugita, 2005).
 Usaha penangkapan ikan benter yang dilakukan masyarakat tanpa memperhatikan kelestariannya, bila dibiarkan maka kemungkinan besar populasi ikan tersebut akan menurun, dan bisa menyebabkan kepunahan. Oleh sebab itu diperlukan upaya perlindungan. Salah satu upaya perlindungan untuk mempertahankan keberadaan ikan benter di alam adalah dengan melakukan usaha konservasi. Usaha konservasi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aspek biologi ikan, khususnya mengenai reproduksi ikan.
Informasi mengenai reproduksi ikan benter secara lengkap khususnya di Sungai Citanduy sampai saat ini belum ada. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka perlu penelitian tentang aspek biologi reproduksi ikan benter yang tertangkap di Sungai Citanduy yang meliputi faktor kondisi, rasio kelamin, tingkat perkembangan gonad, indeks gonado somatik, fekunditas, dan diameter telur guna mendukung usaha pelestarian yang berkesinambungan.
Kehidupan ikan di perairan tidak terlepas dari kualitas fisika dan kimia air pada habitat ikan tersebut (Odum, 1971). Oleh karena itu sebagai parameter pendukung dalam penelitian reproduksi ikan benter ini perlu dilakukan pengukuran faktor fisika dan kimia air di lokasi penelitian yang berhubungan dengan aktivitas reproduksi ikan.

Sejarah dan Lintas Waktu
Sungai Citanduy  pada masa jayanya, merupakan jalur migrasi manusia pra-sejarah dari daerah pegunungan atau perbukitan dataran tinggi di daerah hulu sekitar Pagerageung kabupaten Tasikmalaya, Cikoneng Kabupaten Ciamis, dan daerah-daerah lainnya hingga dari daerah pesisir pantai utara Jawa Barat. Migrasi ini merupakan pergerakan perpindahan manusia dahulu yang mengikuti arus sungai Citanduy. Ada juga migrasi bergerak yang berlawanan arus sungai tsb, diantaranya dari daerah-daerah hilir seputar sagara anakan yang merupakan daerah muara atau daerah erusia Citanduy dan Cijulang di daerah pesisir pantai Selatan (daerah Cilacap)
           Pada masa awal penjajahan seputar tahun 1595-an, konon jalur sungai Citanduy juga masih layak sebagai jalur pelayaran transportasi air. Kaum penjajah pada jaman itu melakukan ekspedisi dan penelitian terhadap daerah-daerah pedalaman Jawa Barat khususnya, infrastruktur transportasinya memanfaatkan sungai Citanduy. Dengan demikian Sungai Citanduy pada masa itu seperti layaknya sungai Musi, Kapuas, Barito dan beberapa sungai besar lainnya masa sekarang di Indonesia.
                Perubahan kondisi, fisik, dan lebar hingga kedalaman sungai Citanduy yang jadi tidak begitu lebar serta jadi dangkal… hal ini merupakan kejadian simulasi waktu untuk tingkat sedimentasi sungai yg relatif besar.
Sedemintasi alamiah yang terbawa oleh arus air sungai (run off) umumnya membawa berkah nutrisi pakan dan atau bahan makanan bagi semua mkhluq di daratan hingga ke daerah muara. Ini adalah suatu yang wajar dan memang ini juga suatu mata rantai dari sisi ekosistem untuk keberadaan sungai tersebut. Bawaan dan muatan materi oleh run off ini terus berlangsung dengan stabil dan dengan ukuran-ukuran yg proporsonal dengan keberadaan sumbernya dari daerah hulu. Namun, apa yang terjadi setelah adanya pertumbuhan daerah terbangun di seputar DAS Citanduy tsb, menjadi akibat bawaan matrial oleh arus sungai itu lebih banyak dari biasanya, daerah terbangun dan daerah yg menipisnya areal hutan yg kaya akan berbagai tegakan tumbuhan (vegetative) jadi mudah tergerus oleh air hujan dan ‘speed run off’ jadi lebih cepat berlangsung terbuang ke sungai meski membawa muatan yg beraneka ragam material. Material-material bawaan ini lah merupakan bahan sedimentasi yang relative besar untuk suatu perubahan sungai Citanduy jadi seperti sekarang.

             Sungai Citaduy yang berlikuk-likuk (miander river) mengikuti dataran kaki perbukitan dan pegunungan pada gunung Tumpeng, Gunung Sangkur dan kaki perbukitan yg tidak jauh dgn daerah Batulawang sana, adalah salah satu bukti geologi atas keberadaan sungai Citanduy, dan sungai bagian dari sistem drainase utama atas saluran-saluran alam dari beberapa alur daerah perbukitan tersebut. Kondisi dan keberadaan inilah yang lazimnya disebut sebagai tataan geologi yg masih asli, meski ada sebagian ruas jalur sungai yg sudah di “sudet” di daerah “intake irigasi bendung dobuku” seputar daerah Cibodas Jelat ujung timur dan sekitarnya.

              Setiap tata lingkungan selalu memiliki irama kehidupan atau ekosistem, unsur penunjang, dan peraturan atau hukum yang memiliharanya. Unsur penunjang terdiri dari tataan geologi di bawah dan di permukaan medannya, cuaca dan iklim yang erat kaitannya dengan masalah meteorology, tata keairan di bawah, di atas dan dipermukaan bumi yang dapat dipelajari secara hidrologi, botani mengenai tumbuhan, dan zoology mempelajari hewannya. Manusia lebih banyak bergerak dalam memanfaatkan secara sosial, ekonomis, dan budaya tata lingkungan yang didukung kelima fasilitas alam, yang sudah tersedia tanpa diminta. Tetapi pemanfaatannya kurang atau tidak memperhatikan daya dukung lingkungannya yg erat kaitan dgn kelima unsur penunjang tsb.























Tidak ada komentar:

Posting Komentar