Pemerintah Australia menggelar perang besar-besaran terhadap para pelanggar karena maraknya praktik Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing di wilayahnya. Oleh karena itu, Pemerintah Australia menggelar operasi pemberantasan IUU fishing tersebut dengan nama “Clean Water Operation” yang berlangsung selama 10 hari dari tanggal 12-21 April 2005. Dalam operasi tersebut, aparat keamanan Australia berhasil menangkap 240 nelayan Indonesia.
Dalam operasi tersebut, Kapten kapal KM Gunung Mas Baru yang
bernama Muhammad Heri dalam masa penahanannya di Darwin, Australia meninggal. Tersiarnya
berita kematian nelayan Indonesia di Australia akibat penyekapan di atas kapal
tersebut menimbulkan ketersinggungan bagi rakyat Indonesia. Awalnya pihak
Australia berupaya menutup-nutupi kematian tersebut. Akan tetapi, kasus ini
terungkap oleh West Timor Care Foundation yang berupaya membongkar kasus
tersebut. Kejadian ini bukan yang pertama, karena setahun lalu, nelayan asal
Sikka, Nusa Tenggara Timur yang bernama Manzur La Ibu juga meninggal setelah
disekap Angkatan Laut Australia.
Kerjasama Bilateral
Kegiatan – kegiatan IUU Fishing harus segera diberantas, karena
tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi bagi negara yang sumberdaya ikan
dicuri, tetapi juga praktik tersebut menimbulkan kerugian ekologi dengan
rusaknya sumberdaya ikan. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan IUU
fishing, setiap negara perlu melakukan kerjasama, baik bilateral, regional
maupun internasional.
Penyelesaian masalah pelanggaran perikanan yang sering dilakukan
oleh nelayan Indonesia di perairan Australia, harus mendapat perhatian dari pemerintah,
terutama DKP. Hal ini dikarenakan, masalah perikanan membuat hubungan baik
antara Indonesia-Australia menjadi renggang. Penyelesaian hukum yang dilakukan
Australia, kadang menimbulkan ketersinggungan bagi pihak lain, sehingga perlu
dicarikan solusi alternatifnya.
Solusi alternatif diperlukan untuk menyelesaikan masalah
pelanggaran perikanan Indonesia-Australia, karena Indonesia mempunyai sejarah yang
panjang dengan Australia dalam menjalin hubungan bilateral, khususnya mengenai
pengakuan Australia terhadap Hak Perikanan Tradisional (traditional fishing
rights) nelayan Indonesia di perairan Australia. Traditional fishing rights
antara Indonesia-Australia merupakan kebiasaan (customs) yang mendapatkan
pengakuan dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (United
Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982).
Secara lengkapnya, Pasal 51 UNCLOS menyebutkan “…., negara
kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus
mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga
yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan
kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian,
termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan demikian
berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur
dengan perjanjian bilateral antara mereka…”.
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan untuk dapat
dikategorikan memiliki traditional fishing rights, diantara yaitu: (1)
nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di
suatu perairan tertentu; (2) nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan
alat-alat tertentu secara tradisional; (3) hasil tangkapan mereka secara
tradisional adalah jenis ikan tertentu; dan (4) nelayan-nelayan yang melakukan
penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan yang secara tradisional telah
melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut.
Berdasarkan kriteria tersebut, Australia mengakui nelayan
tradisional Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di beberapa wilayah
perairannya, karena selama beberapa dekade, nelayan Indonesia telah melakukan
penangkapan ikan di sekitar perairan Australia secara tradisi tanpa mendapatkan
hambatan dari Pemerintah Australia. Dengan demikian, hak perikanan tradisional
di zona perikanan Australia merupakan satu-satunya hak perikanan tradisional
yang diakui secara resmi.
Landasan hukum traditional fishing rights antara RI-Australia tercantum
dalam Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 7 November 1974, yang
menetapkan lima daerah operasi perikanan tradisional, meliputi Ashmore Reef,
Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet. Di wilayah ini,
Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan perikanananya kepada
nelayan tradisional Indonesia.
Meski diakuinya Traditional fishing rights, namun nelayan-nelayan
Indonesia masih melakukan pelanggaran. Oleh karenanya, dikeluarkan MOU 1981
untuk membatasi kewenangan pengaturan perikanan antara Australia dan Indonesia
di daerah perbatasan yang saling tumpang tindih (overlaping). Dengan
dikeluarkannya MOU 1981 tersebut, maka telah disepakati penetapan garis
sementara pengawasan perikanan dan penegakkan hukum, sehingga nelayan Indonesia
dilarang melakukan penangkapan ikan di zona perikanan Australia, demikian juga
sebaliknya, kecuali sebagaimana yang telah diatur dalam MOU 1974.
Solusi Alternatif
Penyelesaian kasus nelayan tradisional Indonesia diselesaikan
dengan proses peradilan telah menyebabkan hubungan antara Indonesia-Australia
menjadi renggang. Ada dua hal penting mengenai penyelesaian persoalan nelayan
Indonesia di perairan Australia, yaitu: Pertama, bahwa putusan hakim Australia
kurang efektif karena para nelayan Indonesia tidak jera untuk menghentikan
kegiatannya dalam yurisdiksi teritorial Australia, dan Kedua, Pemerintah
Australia mengklaim bahwa kedatangan nelayan-nelayan Indonesia telah merugikan
Pemerintah Australia dan orang asli aborigin.
Untuk menuntaskan sengketa ini perlu mengedepankan penyelesaian
secara damai untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional sesuai
dengan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, yaitu negosiasi, penyelidikan, dengan
peraturan, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum, melalui
badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang
dipilihnya sendiri. Untuk kasus pelanggaran perikanan nelayan Indonesia,
Jawahir Thontowi menyarankan alternatif penyelesaiannya melalui non-peradilan
yang dalam hal ini adalah komisi arbitrase yang diharapkan mampu mengambil
tanggung jawab bersama, sehingga baik secara moral maupun secara hukum
internasional, kedua negara harus berusaha untuk menegakkan ketertiban dunia
Meskipun
bukan satu-satunya solusi alternatif, namun penyelesaian non-peradilan melalui
komisi arbitrase RI-Australia akan lebih akomodatif dan relevan serta
mencerminkan kepentingan dua negara. Hal ini dikarenakan, komisi arbitrase
dapat berperan dalam menghilangkan tumpang tindih atau overlaping ketentuan
hukum laut yang selama ini belum dapat diselesaikan. Selain itu, dipilihnya
komisi arbitrase dalam penyelesaian pelanggaran diyakini dapat menciptakan rasa
keadilan dan menjauhkan ketersinggungan, mengingat kedua negara diwakili oleh
masing – masih pemersatu atau penengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar