Kamis, 18 April 2013

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERIKANAN - Illegal Fishing dan Traditional Fishing Right


Pemerintah Australia menggelar perang besar-besaran terhadap para pelanggar karena maraknya praktik Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing di wilayahnya.  Oleh karena itu, Pemerintah Australia menggelar operasi pemberantasan IUU fishing tersebut dengan nama “Clean Water Operation” yang berlangsung selama 10 hari dari tanggal 12-21 April 2005. Dalam operasi tersebut, aparat keamanan Australia berhasil menangkap 240 nelayan Indonesia.
Dalam operasi tersebut, Kapten kapal KM Gunung Mas Baru yang bernama Muhammad Heri dalam masa penahanannya di Darwin, Australia meninggal. Tersiarnya berita kematian nelayan Indonesia di Australia akibat penyekapan di atas kapal tersebut menimbulkan ketersinggungan bagi rakyat Indonesia. Awalnya pihak Australia berupaya menutup-nutupi kematian tersebut. Akan tetapi, kasus ini terungkap oleh West Timor Care Foundation yang berupaya membongkar kasus tersebut. Kejadian ini bukan yang pertama, karena setahun lalu, nelayan asal Sikka, Nusa Tenggara Timur yang bernama Manzur La Ibu juga meninggal setelah disekap Angkatan Laut Australia.

Kerjasama Bilateral
Kegiatan – kegiatan IUU Fishing harus segera diberantas, karena tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi bagi negara yang sumberdaya ikan dicuri, tetapi juga praktik tersebut menimbulkan kerugian ekologi dengan rusaknya sumberdaya ikan. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan IUU fishing, setiap negara perlu melakukan kerjasama, baik bilateral, regional maupun internasional.
Penyelesaian masalah pelanggaran perikanan yang sering dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairan Australia, harus mendapat perhatian dari pemerintah, terutama DKP. Hal ini dikarenakan, masalah perikanan membuat hubungan baik antara Indonesia-Australia menjadi renggang. Penyelesaian hukum yang dilakukan Australia, kadang menimbulkan ketersinggungan bagi pihak lain, sehingga perlu dicarikan solusi alternatifnya.
Solusi alternatif diperlukan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran perikanan Indonesia-Australia, karena Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dengan Australia dalam menjalin hubungan bilateral, khususnya mengenai pengakuan Australia terhadap Hak Perikanan Tradisional (traditional fishing rights) nelayan Indonesia di perairan Australia. Traditional fishing rights antara Indonesia-Australia merupakan kebiasaan (customs) yang mendapatkan pengakuan dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982).
Secara lengkapnya, Pasal 51 UNCLOS menyebutkan “…., negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka…”.
Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan untuk dapat dikategorikan memiliki traditional fishing rights, diantara yaitu: (1) nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di suatu perairan tertentu; (2) nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara tradisional; (3) hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu; dan (4) nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut.
Berdasarkan kriteria tersebut, Australia mengakui nelayan tradisional Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di beberapa wilayah perairannya, karena selama beberapa dekade, nelayan Indonesia telah melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan Australia secara tradisi tanpa mendapatkan hambatan dari Pemerintah Australia. Dengan demikian, hak perikanan tradisional di zona perikanan Australia merupakan satu-satunya hak perikanan tradisional yang diakui secara resmi.
Landasan hukum traditional fishing rights antara RI-Australia tercantum dalam Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 7 November 1974, yang menetapkan lima daerah operasi perikanan tradisional, meliputi Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet. Di wilayah ini, Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan perikanananya kepada nelayan tradisional Indonesia.
Meski diakuinya Traditional fishing rights, namun nelayan-nelayan Indonesia masih melakukan pelanggaran. Oleh karenanya, dikeluarkan MOU 1981 untuk membatasi kewenangan pengaturan perikanan antara Australia dan Indonesia di daerah perbatasan yang saling tumpang tindih (overlaping). Dengan dikeluarkannya MOU 1981 tersebut, maka telah disepakati penetapan garis sementara pengawasan perikanan dan penegakkan hukum, sehingga nelayan Indonesia dilarang melakukan penangkapan ikan di zona perikanan Australia, demikian juga sebaliknya, kecuali sebagaimana yang telah diatur dalam MOU 1974.
Solusi Alternatif
Penyelesaian kasus nelayan tradisional Indonesia diselesaikan dengan proses peradilan telah menyebabkan hubungan antara Indonesia-Australia menjadi renggang. Ada dua hal penting mengenai penyelesaian persoalan nelayan Indonesia di perairan Australia, yaitu: Pertama, bahwa putusan hakim Australia kurang efektif karena para nelayan Indonesia tidak jera untuk menghentikan kegiatannya dalam yurisdiksi teritorial Australia, dan Kedua, Pemerintah Australia mengklaim bahwa kedatangan nelayan-nelayan Indonesia telah merugikan Pemerintah Australia dan orang asli aborigin.
Untuk menuntaskan sengketa ini perlu mengedepankan penyelesaian secara damai untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, yaitu negosiasi, penyelidikan, dengan peraturan, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilihnya sendiri. Untuk kasus pelanggaran perikanan nelayan Indonesia, Jawahir Thontowi menyarankan alternatif penyelesaiannya melalui non-peradilan yang dalam hal ini adalah komisi arbitrase yang diharapkan mampu mengambil tanggung jawab bersama, sehingga baik secara moral maupun secara hukum internasional, kedua negara harus berusaha untuk menegakkan ketertiban dunia
Meskipun bukan satu-satunya solusi alternatif, namun penyelesaian non-peradilan melalui komisi arbitrase RI-Australia akan lebih akomodatif dan relevan serta mencerminkan kepentingan dua negara. Hal ini dikarenakan, komisi arbitrase dapat berperan dalam menghilangkan tumpang tindih atau overlaping ketentuan hukum laut yang selama ini belum dapat diselesaikan. Selain itu, dipilihnya komisi arbitrase dalam penyelesaian pelanggaran diyakini dapat menciptakan rasa keadilan dan menjauhkan ketersinggungan, mengingat kedua negara diwakili oleh masing – masih pemersatu atau penengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar