Rabu, 23 November 2011

Landasan Teori Praktikum VIII


Salah satu jenis bakteri asam laktat yang dapat digunakan untuk produk perikanan adalah Lactobacillus plantarum. Jenis bakteri asam laktat ini digunakan untuk menghambat penurunan mutu filet nila merah sehinga dapat disimpan dalam waktu lebih lama. Menurut Jenie dan Rini (1995) Lactobacillus plantarum mempunyai kemampuan untuk menghambat mikroorganisme pathogen pada bahan pangan dengan daerah penghambatan terbesar dibandingkan dengan bakteri asam laktat lainnya.
Ensiling merupakan proses biokimia yang dilakukan oleh kelompok bakteri laktat yaitu Lactobacillus dengan hasil akhirnya antara lain mendapatkan asam laktat dan pH yang rendah (Nilsson dan Rydin, 1965). Asam laktat dapat bersifat mengawetkan bahan pangan (Winarno, 1994). pH yang rendah dapat menghambat kontaminasi mikroorganisme pembusuk, mokroorganisme pathogen serta mikroorganisme penghasil racun akan mati (Sperling, 1968 dalam Suriawiria, 1983).
Lactobacillus juga dapat menghasilkan H2O2 akibat adanya oksigen dan berfungsi sebagai antibakteri yang dapat menyebabkan adanya daya hambat terhadap pertumbuhan mikroorganisme lain. Lactobacillus mempunyai kemampuan untuk menghasilkan antibiotik yang disebut bakteriosin (Suriawiria, 1983). Pada pH rendah tersebut nilai nutrisi dan organoleptik dapat dipertahankan (Lovern 1955, Amano 1962, dan Meseck, 1969).
Menurut Von Hofsten dan Wirahadikusumah (1977) ada tiga jenis bakteri asam laktat yang berpengaruh selama proses ensiling, yaitu Leuconostoc mesenteroides, Streptococcus faecalis, dan Lactobacillus plantarum. Bakteri yang mempunyai peranan penting sebagai penghasil asam laktat adalah L. plantarum. Berdasarkan hasil penelitian Jenie dan Rini (1995) L. plantarum mempunyai daerah penghambat terbesar terhadap Listeria monocytogenes dibandingkan dengan bakteri asam laktat lainnya. Listeria monocytogenes merupakan bakteri pathogen yang penting terutama pada makanan dingin seperti susu, daging sapi, sosis kering, hasil laut dan sayur-sayuran, karena bakteri Ini bersifat pathogen (Schofield, 1992). L. plantarum merupakan spesies Lactobacillus yang mampu memproduksi H2O2 dalam jumlah yang tinggi (Jenie dan Rini, 1995). Lactobacillus mampu mengakumulasi H2O2 selama penyimpanan dalam refrigerasi tanpa pertumbuhan kultur dan produksi asam, hal ini memungkinkan aplikasi kultur laktat untuk pengawetan makanan tanpa harus melalui proses fermentasi (Gilliland, 1985).
Menurut Suriawiria (1983) starter adalah biakan pemula bakteri laktat yang digunakan untuk pengawetan ikan secara biologis, pada umumnya terdiri dari L. plantarum yang jumlahnya 109 cfu/gram sustrat. Menurut Raccach et al. (1979) L. plantarum yang dapat digunakan dalam memperpanjang daya simpan jumlahnya adalah sebanyak 108 sampai dengan 109 cfu/ml. Berdasarkan hasil penelitian Rostini (2002), diketahui bahwa jumlah bakteri L. plantarum 108 cfu/ml, 109 cfu/ml, dan 1010 cfu/ml berada pada fase logaritmik.
Fase logaritmik adalah fase pertambahan populasi secara teratur menjadi dua kali lipat pada interval waktu tertentu (waktu generasi) selama inkubasi (Pelczar dan Chan, 1986). Jumlah L. plantarum 108 cfu/ml berada di awal fase logaritmik sehingga pertumbuhannya sangat pesat, L. plantarum 109 cfu/ml berada di tengah-tengah fase logaritmik, dan L. plantarum sebanyak 1010 cfu/ml berada di akhir fase logaritmik menjelang fase stasioner. Karakteristik organoleptik yang meliputi kenampakan lendir, aroma, dan tekstur pada filet dengan konsentrasi perendaman dalam larutan biakan bakteri sebanyak 109 cfu/ml mengalami perubahan ke arah pembusukan pada hari ke-10. Penyimpanan dilakukan di dalam lemari pendingin pada suhu antara 5-10oC.
Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang mampu mengubah karbohidrat (glukosa) menjadi asam laktat. Efek bakterisidal dari asam laktat berkaitan dengan penurunan pH lingkungan menjadi 3 sampai 4,5 sehingga pertumbuhan bakteri lain termasuk bakteri pembusuk akan terhambat (Amin dan Leksono, 2001). Pada umunya mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6-8 (Buckle et al., 1987).
Bakteri asam laktat pada ikan merupakan salah satu bagian dari bakteri awal. Pertumbuhan bakteri ini dapat menyebabkan gangguan terhadap bakteri pembusuk dan pathogen (Bromerg, dkk., 2001). Bakteri yang termasuk kelompok BAL adalah Aerococcus, Allococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, dan Vagococcus (Ali dan Radu, 1998).
Efektivitas BAL dalam menghambat bakteri pembusuk dipengaruhi oleh kepadatan BAL, strain BAL, dan komposisi media (Jeppensen dan Huss, 1993). Selain itu, produki substansi penghambat dari BAL dipengaruhi oleh media pertumbuhan, pH, dan temperature lingkungan (Ahn dan Stiles, 1990).
Penambahan bakteri asam laktat (L. plantarum) dapat menurunkan nilai pH filet nila merah (Rostini, 2002). Penurunan nilai pH pada filet dapat memperlambat pertumbuhan bakteri pembusuk, hal ini menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk yang terdapat di dalam filet dapat diperlambat, sehingga penguraian protein oleh bakteri pembusuk dapat diperlambat juga. Penurunan nilai pH yang terjadi pada filet nila merah dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri tidak terlalu cepat karena dihambat oleh asam laktat yang dihasilkan dari perombakan glikogen oleh L. plantarum. Dengan terhambatnya pertumbuhan bakteri pembusuk tersebut maka masa simpan filet nila merah akan menjadi lebih lama. Jumlah bakteri dapat mempengaruhi karakteristik organoleptik filet nila merah karena metabolisme bakteri dapat menyebabkan perubahan terhadap kenampakan, lendir, aroma, dan tekstur, sehingga karakteristik organoleptik akan mudah mengalami kerusakan.
Hal ini akan mempengaruhi terhadap penerimaan filet selama masa penyimpanan. Nilai pH filet dengan pemberian L. plantarum yang disimpan pada suhu rendah berkisar antara 5,95-6,90 (Oktaviani, 2004). Nilai pH tersebut dapat mendukung kemampuan bakteriosin dalam menghambat bakteri pembusuk, karena bakteriosin sangat aktif pada pH 6,5 (Daeschel, 1990). L. plantarum masih mampu berkembang dengan baik, dan tetap aktif mengeluarkan senyawa antimikroba (bakteriosin) pada suhu rendah (Buchanan dan Klawitter, 1991). Karakteristik ini merupakan keuntungan dalam memanfaatkan bakteriosin untuk memperpanjang masa simpan filet nila pada suhu rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Rostini (2002), dilihat dari jumlah bakteri dan organoleptik, filet yang diberi L. plantarum 108 cfu/ml dapat diterima sampai hari ke9. Jumlah bakteri, kenampakan, dan aroma filet yang diberi L. plantarum 109 cfu/ml dapat diterima sampai hari ke-9, sedangkan lendir dan tekstur diterima sampai hari ke-8, dan pemberian L. plantarum 1010 cfu/ml berdasarkan jumlah bakteri dan organoleptik dapat diterima sampai hari ke-7. Hal ini berarti bahwa konsentrasi pemberian L. plantarum dilihat dari jumlah bakteri dan karakteristik organoleptik, pemberian L. plantarum dengan konsentrasi 108 cfu/ml menghasilkan lama penyimpanan yang lebih lama. Berdasarkan hasil penelitian Liviawaty et al. (1999) filet nila merah yang disimpan pada suhu 5-10oC dapat diterima sampai hari ke-7 berdasarkan batas penerimaan terhadap aroma dan serta dapat menghambat pertumbuhan bakteri sampai hari ke-7. Dengan demikian berarti bahwa filet nila merah yang diberi bakteri asam laktat (BAL) jenis L. plantarum memiliki masa simpan dua hari lebih lama bila dibandingkan dengan filet yang tidak diberi L. plantarum.
Di dukung oleh hasil penelitian Oktaviani (2004), menyatakan bahwa filet nila merah yang direndam dengan larutan L. plantarum sebanyak 108 cfu/ml selama 5, 10, dan 15 menit mampu mencapai masa simpan hingga hari ke-9. Hal tersebut disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk yang menjadi lebih lambat karena L. plantarum yang diinokulasikan ke dalam filet konsentrasinya cukup padat ssehingga terjadi persaingan dengan bakter pembusuk dalam memperebutkan nutrient pada medium filet. Adanya proses persaingan serta terbatasnya jumlah nutrient pada medium filet menyebabkan pertumbuhan bakteri pembusuk menjadi terhambat (Jenie et al., 1997).
Filet yang mempunyai masa simpan hingga hari ke-9, pertumbuhan bakteri pembusuk meningkat pesat pada hari terakhir penyimpanan (hari ke-10). Pada akhir masa simpan, pertumbuhan L.lantarum mulai terdesak dan senyawa-senyawa antimikrobanya sulit beraktivitas. Filet nila sebagai medium tumbuh mikroba, mengalami penumpukkan senyawa metabolit yang merupakan hasil reaksi metabolisme L. plantarum itu sendiri, dan pada akhirnya senyawa-senyawa metabolit tersebut akan bersifat racun serta mengganggu keseimbangan pertumbuhan L. plantarum. Selain itu, kandungan nutrisi sangat diperlukan oleh L. plantarum dari medium (filet nila) sudah sangat berkurang (Fardiaz, 1992).
- BAL jenis L. plantarum memperlihatkan efektivitasnya dalam menghambat bakteri pembusuk pada filet nila merah.
- Perendaman filet nila merah dalam larutan L. plantarum dapat menghasilkan penurunan nilai pH substrat sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk yang tidak tahan terhadap kondisi asam atau pH rendah.
- Efektivitas BAL (L. plantarum) paling tinggi dalam memperpanjang masa simpan filet nila merah diperoleh melalui perendaman L. plantarum dengan konsentrasi 108 cfu/ml selama 5, 10, dan 15 menit, yaitu hingga hari ke-9.
-Filet nila merah yang diberi bakteri asam laktat (BAL) jenis L. plantarum memiliki masa simpan dua hari lebih lama bila dibandingkan dengan filet yang tidak diberi Lactobacillus plantarum.

Ikan merupakan salah satu sumber protein yang sering dikonsumsi masyarakat. Hal ini dikarenakan ikan mudah di dapat dan harganya yang relatif murah jika dibandingkan dengan sumber protein hewani seperti daging ayam maupun sapi. Ikan banyak dipasarkan dalam bentuk segar maupun filet. Namun, dibandingkan dengan bahan pangan lain, ikan memiliki sifat yang mudah rusak (Perishable food), rentan terhadap kontaminasi dan penurunan mutu, oleh karena itu harus dilakukan penanganan dan pengolahan yang cermat.
Proses pembusukan merupakan salah satu indikator dari proses kemunduran mutu yang mengakibatkan semakin singkatnya masa simpan pada ikan dan dapat menurunkan nilai jualnya. Proses pembusukan dapat dihambat dengan beberapa cara, salah satunya dengan penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan pada suhu rendah diketahui dapat memperlambat proses kemunduran mutu dan memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan di dalam bahan pangan dengan menghambat aktivitas enzim dan bakteri pembusuk. Namun, beberapa bakteri pembusuk mampu bertahan pada penyimpanan suhu rendah (1,2). Oleh karena itu, penggunaan suhu rendah perlu dikombinasikan dengan metode pengawetan yang lain. Penggunaan zat antibakteri dapat digunakan untuk pengawetan bahan pangan. Zat antibakteri ada yang berasal dari bahan alami dan artifisial. Namun, konsumen cenderung lebih memilih produk yang diawetkan menggunakan bahan pengawet alami daripada menggunakan bahan artifisial atau zat kimia berbahaya lainnya. Pengawetan bahan pangan secara alami salah satunya dengan memanfaatkan bakteri yang bersifat antagonis terhadap bakteri pembusuk dan patogen pada bahan pangan, misalnya bakteri asam laktat (BAL) (2).
Larutan fermentasi selada dapat digunakan sebagai starter bakteri asam laktat seperti halnya fermentasi kubis. Selain memproduksi bakteri asam laktat, larutan fermentasi selada juga mengandung senyawa antibakteri seperti asam organik dan hasil metabolit lainnya yang dapat berfungsi secara langsung untuk menghambat atau membunuh bakteri pembusuk. Selada merupakan isolat yang mampu menghasilkan persentase asam laktat yang lebih besar dari kubis maupun sawi (3), sehingga kemampuan antibakterinya dapat lebih baik untuk digunakan sebagai pengawet alami pada ikan.











1 komentar: